REFERENSI UTAMA IMAM SYAFI'I DAN PARA PENGIKUTNYA
DALAM MENETAPKAN TAUHID
Sebagaimana sikap para ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang lain, Imam Syafi'i dan para imam madzhabnya menjadikan dzahir ayat-ayat al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi r sebagai referensi utama mereka dalam setiap pembahasan tauhid. Karena Allah I telah menjamin bagi siapa saja yang berpegang teguh dengan keduanya, bahwa dia tidak akan tersesat maupun celaka, sebagaimana firman Allah r,
]فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلا يَضِلُّ وَلا يَشْقَى. وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى[ طـه: 123-124
Artinya: "Dan barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, maka ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". QS. Thaha: 123-124.
Mereka juga senantiasa mengedepankan dalil-dalil al-Qur'an dan al-Hadits atas dalil-dalil akal yang dibuat-buat oleh ulama ahlul kalam[1]. Dan ini tidak berarti bahwa salafush shalih sama sekali tidak mempergunakan akal mereka, akan tetapi maksudnya adalah mereka tidak meniti jalan ahlul kalam yang hanya bergantung kepada akal belaka dalam masalah-masalah yang akal manusia tidak sampai kepadanya, kemudian mereka "membuang" setiap dalil dari al-Qur'an dan al-Hadits yang tidak selaras dan bertentangan dengan akal mereka. Tentunya sikap Ahlus Sunnah tidak seperti itu, bahkan dari awal mereka telah meniadakan adanya pertentangan antara akal dan dalil, tentunya dengan syarat bahwa akal tersebut sehat, dan dalilnya shahih[2].
Di antara perkataan-perkataan Imam Syafi'i yang menguatkan metode di atas, perkataan beliau,
فقد جعل الله الحق في كتابه ثم سنة نبيه r.
Selain beliau menjadikan al-Qur'an dan al-Hadits sebagai referensi utama dalam menetapkan segala permasalahan termasuk aqidah, beliau juga terkenal amat perhatian dengan shahih tidaknya hadits yang akan beliau jadikan sebagai dalil. Oleh karena itu beliau tidak merasa malu untuk bertanya dan berkonsultasi dengan para ahli hadits di zamannya. Suatu hari beliau berkata kepada Imam Ahmad bin Hanbal,
أنتم أعلم بالحديث والرجال مني فإذا كان الحديث صحيحاً فأعلموني, إن شاء أن يكون كوفياً أو بصرياً أو شامياً حتى أذهب إليه إذا كان صحيحاً.
"Kalian lebih tahu dari aku tentang hadits dan para perawinya. Jika hadits itu shahih maka beritahulah aku, niscaya aku akan mengambilnya, meskipun dia berada di Kufah, Bashrah ataupun Syam, jika memang hadits itu shahih"[4].
Tidak lupa beliau juga memperingatkan umat akan keterbatasan akal manusia, dalam nasehatnya:
إن للعقل حداً ينتهي إليه كما أن للبصر حداً ينتهي إليه.
"Sesungguhnya akal memiliki batas yang tidak dapat ia lampaui, sebagaimana mata memiliki batas yang tidak dapat dilampaui "[5].
Bahkan Imam Syafi'i memiliki sikap yang amat keras terhadap orang-orang yang gemar mengedepankan akal sebelum dalil, yang mereka biasa dijuluki dengan ahlul kalam. Beliau berkata,
وحكمي في أصحاب الكلام أن يضربوا بالجريد ويحملوا على الإبل ويطاف بهم في العشائر والقبائل ويقال هذا جزاء من ترك الكتاب والسنة وأخذ الكلام.
"Menurut saya, seharusnya ahlul kalam dipukuli dengan pelepah korma, kemudian dinaikkan di atas onta lalu diarak mengelilingi (perkampungan) suku-suku dan kabilah-kabilah, sambil diserukan, "Inilah ganjaran bagi yang meninggalkan kitab dan sunnah lalu mempelajari ilmu kalam!"[6].
Sikap para ulama madzhab Syafi'i dalam masalah ini tidak jauh berbeda dengan sikap Imam mereka; Imam Syafi'i. Di antara para ulama tersebut adalah al-Marwazy yang mendapat gelar asy-Syafi'i ats-Tsani (Syafi'i kedua), tatkala beliau menjelaskan pentingnya merajut persatuan dengan kitab dan sunnah:
قبض اللهُ رسولَه r إليه بعد أن أكمل للمسلمين دينهم, فقال: ]الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ[ المائدة: 3, نزلت ورسول الله r واقف بعرفات فلم ينـزل بعدها حلال ولا حرام, ورجع رسول الله r فمات, وأمرهم الله تبارك وتعالى بالاجتماع على ما جاءهم عنه, ونهاهم عن التفرق من بعد ما جاءهم البيان, فقال: ]وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعاً وَلا تَفَرَّقُوا[ آل عمران: 103.
"Allah I mewafatkan Rasul-Nya r setelah Dia menyempurnakan untuk kaum muslimin agama mereka, maka Dia berfirman (yang artinya): "Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian". QS. Al-Maidah: 3. Ayat ini turun tatkala Rasulullah r sedang wukuf di Arafah, dan sesudahnya tidak turun (hukum-hukum yang berkenaan dengan) halal dan haram. Kemudian Rasulullah r pulang, lalu meninggal. Allah telah memerintahkan kaum muslimin untuk bersatu di atas (tuntunan) yang diajarkan oleh Nabi-Nya, serta melarang mereka untuk berpecah belah setelah datang kepada mereka petunjuk. Dia berfirman (yang artinya): "Dan berpegang teguhlah kalian dengan tali (agama) Allah, serta janganlah kalian berpecah belah". QS. Ali Imran: 103[7].
Di sisi lain Abu al-Mudzaffar as-Sam'ani mengingatkan bahwa agama ini dibangun di atas dalil bukan di atas akal,
وأما أهل السنة؛ قالوا: الأصل في الدين الاتباع, والمعقول تبع, ولو كان أساس الدين على المعقول لاستغنى الخلق عن الوحي وعن الأنبياء, ولبطل معنى الأمر والنهي, ولقال من شاء ما شاء.
"Adapun Ahlus Sunnah; maka mereka berpendapat bahwa agama ini dibangun di atas ittiba' (mengikuti dalil), adapun akal maka hanyalah sebagai pengikut (dalil). Jika dasar agama ini adalah akal, niscaya para makhluk tidak butuh lagi terhadap wahyu dan para nabi, akan hancurlah makna perintah dan larangan, serta orang akan sembarangan berkata sesuka hatinya"[8].
Ini adalah sebagian nukilan dari para imam Ahlus Sunnah dari kalangan ulama madzhab Syafi'i yang menjelaskan dengan gamblang bahwa referensi utama mereka dalam menetapkan masalah tauhid -bahkan dalam setiap masalah agama- adalah al-Qur'an dan al-Hadits. Maka insyaAllah penulispun akan berusaha mengikuti jejak mereka dalam membahas setiap permasalahan dalam risalah ini. Yakni berusaha mendasari setiap permasalahan dengan al-Qur'an dan atau al-Hadits, kemudian mengiringinya dengan perkataan para ulama madzhab Syaf'i, wallahu waliyyut taufiq…
[1] Ilmu Kalam adalah: Ilmu yang membahas permasalahan-permasalah akidah berdasarkan dalil-dalil akal belaka. Lantas di kemudian hari ilmu kalam ini bercampur dan berbaur dengan filsafat, hingga susah untuk dibedakan satu sama lainnya. Dinamakan sebagai ilmu kalam yang secara bahasa, kalam berarti omongan, karena ilmu ini tidak mendatangkan manfaat, yang ada di dalamnya hanyalah banyak omongan yang tidak ada manfaatnya. Dan masih ada sebab-sebab lain yang menjadikan "ilmu" ini dijuluki ilmu kalam. Lihat Muqaddimah Ibnu al-Khaldun hal: 458, dan Tahdzir al-Anam min 'Ilm al-Kalam, karya Dr. Abdurrahman asy-Syibl, hal: 2-4
[2] Untuk pembahasan lebih luas tentang masalah tidak adanya pertentangan antara akal yang sehat dengan dalil yang shahih, silahkan dirujuk referensi-referensi berikut: Dar'u Ta'arudh al-'Aql wa an-Naql, oleh Ibnu Taimiyah: I/148-…., ash-Shawa'iq al-Mursalah 'ala al-Jahmiyah wa al-Mu'athilah, oleh Ibnu al-Qayyim: III/829-832, Manhaj as-Salaf wa al-Mutakallimin fi Muwafaqati al-'Aql li an-Naql, Jabir Idris: I/162-181.
mari berlomba-lomba bermanhaj salaf
ReplyDeleteinsyaalloh.mari belajar bersama
ReplyDelete